Filosofi Kopi Sachet

Kisah ini adalah sekuel dari film Filosofi Kopi dari karya Dewi Lestari, yang saya buat sendiri untuk mengobati kerinduan terhadap tokoh-tokohnya dan apa yang mereka alami selanjutnya. Semoga suka. Terima kasih, dan selamat membaca.

*** 

Tiga tahun setelah kafe kami dijual, dan Filosofi Kopi pindah ke bus bertingkat dua, kami sudah berkeliling Indonesia–Jakarta, Yogyakarta, Bali, dan lain-lain–untuk menjajakan kopi. Di luar dugaan, usaha kami berjalan lumayan baik. Setidaknya, aku bisa menabung, Ben bisa bertemu banyak penggemar baru, dan pegawai-pegawai kami bisa hidup lumayan sejahtera. Namun, rasanya semua masih bisa lebih baik lagi.

Aku masih belum puas.

Apa lagi, setelah suatu hari, aku bertemu seorang pengusaha yang menawariku sebuah mesin pencetak kopi sachet.

Ketika kutemui saat makan siang di sebuah restoran, dengan menggebu-gebu si pengusaha mengatakan. “Jika anda punya mesin ini, anda sudah pasti akan menghasilkan lebih banyak uang. Karena dalam satu jam, mesin ini bisa mencetak lebih dari tiga ribu sachet. Dan coba bayangkan jika Filosofi Kopi bertransformasi ke dalam bentuk sachet, dan penjualannya bisa menyebar ke berbagai daerah, bahkan luar negeri. Anda bisa go internasional, Pak Jody!” Tuturnya bersemangat. “Jika anda berjualan dengan menggunakan mobil, jelas anda tidak akan bisa melakukan itu.” Tandasnya tajam, dan membuatku berpikir lama.

Selepas pertemuan itu, aku terus memikirkan penawaran tersebut, dan menyimpulkan bahwa apa yang dikatakan si pengusaha memang ada benarnya. Kopi sachet memiliki cakupan yang lebih luas, ditambah biaya distribusi yang lebih kecil. Dari segi itu saja, keuntungan yang bisa kudapat akan jauh lebih besar. Seharusnya, sejak dulu aku mengembangkan bisnis dalam bentuk kopi sachet.

Keesokan harinya, sambil berkeliling dengan bus–menjajakan kopi di dekat Tugu Monas, aku menceritakan semuanya kepada Ben.



Dan seperti yang sudah kuduga, ketika aku selesai bercerita, Ben langsung menggeleng. “Nggak, Jody.” Potongnya cepat. “Gue nggak mau kopi GUE dibuat dengan MESIN dan dijual dalam bentuk SACHET.” Bentaknya tegas.

“Tapi, Ben, coba pikirin, ini akan menghasilkan….”

“Lebih banyak uang?” Potong Ben sambil tersenyum mengejek. “Ada nggak sih hal lain yang lo pikirin selain uang?”

Aku terdiam.

Biasanya, jenis kalimat yang terakhir itu akan menjadi kalimat pembuka dimulainya pertengkaran kami. Ben juga tahu itu. Dia menghela napas. “Jody, coba deh lo lihat kita yang sekarang. Hutang kita udah lunas, usaha berjalan lancar. Gue udah nyaman banget bisa bikin kopi dan ketemu banyak orang.” Ben berhenti sejenak, lalu mengusap wajahnya dengan kedua tangan. “Gue nggak mau kehilangan semua ini.” Tandasnya.

“Gini, Ben. Gue mohon ubah cara berpikir lo.” Ujarku pelan sambil menatap Ben penuh harap. “Kalau usaha kopi sachet ini sukses, kita bisa buka kafe Filosofi Kopi lagi, bahkan kita bisa buka dua atau tiga cabang di kota lain. Lo juga bisa buka sekolah barista, sesuai impian lo itu.”

“Tapi resikonya terlalu besar, Jody.” Ben ikut memelankan suaranya. “Kalau kita jual semua yang kita punya sekarang, lalu usaha kopi SACHET terkutuk itu nggak berjalan dengan baik? Gimana? Kita mau ngapain setelah itu?”

Aku masih belum mau menyerah. “Lo sendiri yang bilang ‘kopi yang enak akan selalu menemukan penikmatnya’ gitu kan?” Tanyaku. “Walaupun bentuknya sachet, Ben’s Perfecto akan tetap disukai.”

“Nggak.”

“Sejak kapan lo jadi gini, Ben? Bukannya lo dulu cukup gila buat nantang si investor itu untuk naikin taruhan jadi satu miliar? Kali ini, kita nggak perlu nantang siapa-siapa, Ben. Kita hanya perlu menjual semua yang kita punya buat beli mesin pencetak kopi sachet.”

“Justru kalau lo nekat ngelakuin itu, lo bener-bener udah gila!” Potong Ben.

“Terserah lo mau ngatain gue apa.” Aku menatap Ben lekat-lekat. “Lo ikut atau nggak?”

“Lebih baik gue pulang kampung.” Ujar Ben, lalu bangkit berdiri dan mengemasi barang-barangnya. “Kopi GUE nggak akan pernah sama jika dibuat dengan ROBOT.” Ujarnya tanpa menoleh.

Begitulah. Ben akhirnya memutuskan untuk pulang kampung. Ketika itu, aku sempat dilanda kebimbangan. Di satu sisi, aku tidak ingin melepas barista terbaik sekaligus sahabatku sejak kecil. Walaupun Ben orangnya menyebalkan minta ampun, susah diatur, dan nyaris selalu menentang ide-ideku untuk mengembangkan Filosofi Kopi, tapi dia sudah seperti saudaraku sendiri. Berat rasanya harus melepasnya pergi. Namun, di sisi lain, aku tidak mau melepas peluang yang jika tidak diambil, akan membuatku menyesal seumur hidup.
Sambil berusaha menata hati untuk merelakan Ben pergi, aku menatap foto keluarga yang tergantung di dinding kamar. Di foto itu ada aku, kakak perempuanku–Lisa, bapak, dan ibu. Kedua orangtuaku sudah tidak ada, ibu kabur bersama laki-laki yang lebih kaya karena tidak tahan hidup pas-pasan dengan bapak. Dan bapak meninggal karena sedih ditinggal ibu.

Itu adalah masa-masa kelam dalam hidupku.

Aku tidak mau hidup seperti dulu lagi. Waktu itu, kami memang tidak sampai kelaparan, tapi tetap saja semuanya serba pas-pasan. Bahkan setelah meninggal pun, Bapak masih mewariskan banyak hutang. Tepat setelah aku berpikir seperti itu, seseorang mengetuk pintu rumahku. Ketika membukanya, Sarah, pacarku sejak setengah tahun terakhir, berdiri di depan pintu. Seperti biasa, dengan pakaian kerjanya (cardigan dan rok coklat tua), cewek itu secantik saat pertama kali aku bertemu dengannya. Ketika itu, bus Filosofi Kopi baru satu tahun berkeliling Jakarta, dan kebetulan Sarah sedang istirahat makan siang–ngomong-ngomong, dia bekerja di sebuah perusahaan telekomunikasi. Iya, karirnya bagus dan gajinya besar. Dan kami pun bertemu, merasa cocok, dan enam bulan lalu memutuskan untuk berpacaran.

“Sayang, kamu jadi kan melamar aku?” Itu pertanyaan pertama Sarah saat kupersilahkan masuk. Dia bahkan belum duduk.

“Iya, Sayang. Kan ketemu orangtuamu masih seminggu lagi?” Aku balik bertanya. “Sekarang aku lagi mikirin ngembangin Filosofi Kopi.”

“Bapak udah nanya-nanya terus nih.” Ujar Sarah lagi. “Kamu serius nggak sih sama aku?”

“Serius, Sayang, serius.”

“Kalau begitu dipercepat saja, besok kita ketemu orangtuaku.”

Jika sudah begini, tidak ada pilihan lain. “Oke.” Sahutku berusaha semantap mungkin.
Terpaksa aku mengesampingkan dulu urusan pembelian mesin pencetak kopi sachet. Dan memilih pergi bertemu orangtua pacarku.

Begitulah. Di hari ketika aku harus mengantar Ben ke pelabuhan, aku malah melewatkan waktu bersama keluarga Sarah. Mengobrol dengan bapak, ibu, dan kakak laki-lakinya. Dan bermain-main bersama keponakan-keponakannya. Semua berjalan baik-baik saja, sampai makan malam tiba, dan Calon Bapak Mertua bertanya kepadaku. “Apa pekerjaan Nak Jody?”

Lalu aku menjawab. “Sekarang ini saya mau membuka pabrik kopi sachet, Pak. Baru mulai merintis. Sebelumnya, saya berjualan kopi keliling.”

“Oh.”

Sepertinya Calon Bapak Mertua tidak terkesan sama sekali, maka aku segera menambahkan. “Sebelumnya lagi, saya membuka kedai kopi.”

Tidak ada perubahan.

Calon Bapak Mertua malah berhenti bertanya. Dan sepanjang sisa acara beliau memilih untuk diam. Baru ketika hendak pulang, beliau berpesan kepadaku. “Semoga pabrik kopinya sukses, Nak Jody. Setelah usaha tersebut berhasil, baru kita bicarakan lagi tentang pernikahan Nak Jody dengan anak saya.”

Aku hanya mengangguk. Sudah paham dengan maksud orangtua Sarah. Mereka belum mau menyerahkan anaknya kepada laki-laki yang belum benar-benar mapan. Mereka tentu berharap mendapatkan mantu yang–sebelum berani mengambil tanggung jawab mengurus anak orang–terlebih dahulu harus mampu mengurus dirinya sendiri.

Pulangnya, begitu keluar dari mobil, aku menemukan Ben sudah menunggu di depan rumah.

“Belom pergi lo?” Tanyaku spontan.

“Astaga, sebegitu muaknya lo sama gue?” Ben geleng-geleng kepala. “Gue cuma mampir sebentar aja, Jod. Rasanya nggak enak kalo gue belom pamit.”

Aku tersenyum, lalu berkata tulus. “Kalau gue sukses, gue bakal jemput lo lagi ke kampung. Kita bakal buka cabang Filosofi Kopi di mana-mana, dan gue butuh lo untuk melatih barista-barista muda kita.”

Ben ikut tersenyum, bukan jenis senyum bahagia, tapi senyum kasihan. “Gue tau lho PASTI bakal jemput gue ke kampung. Tapi bukan karena lo sukses, melainkan karena lo bangkrut.”

“Oke, terima kasih untuk doanya.” Sindirku.

Ben tertawa. “Yang jelas, apapun yang terjadi, lo bakal tetap jadi sahabat terbaik gue.” Ujar Ben pelan.

“Gue harap lo ngerti, Ben. Gue harus ngelakuin ini. Lo udah punya El, yang bakal mencintai lo sepenuh hati, nggak peduli lo barista atau petani. Gue beda, Ben. Gue harus sukses supaya orangtua Sarah mau menerima gue sebagai mantu.”

“Iya, gue ngerti.” Sahut Ben. Lalu dia memelukku. “Semoga sukses ngelamar si gondrong lo itu.” Lanjutnya.

Selepas Ben pergi, aku baru menyadari sesuatu. Rupanya, selain meninggalkan harapan agar aku cepat bangkrut, sahabatku itu juga meninggalkan sebuah buku untukku. Isinya resep Ben’s Perfecto, segala bahan-bahan yang diperlukan dan takarannya. Semua ditulis dengan detail di sana. Bagiku, itu saja sudah cukup sebagai bentuk dukungan.

Besoknya, aku mulai mengumpulkan uang untuk bisa membeli mesin pencetak kopi sachet itu. Mulai dari menjual bus Filosofi Kopi, sampai menarik semua tabunganku di bank. Tiga hari kemudian, mesin itu pun menjadi milikku.

Karena mesin kopi sachet itu sangat besar, dan jumlahnya banyak, aku sudah menyewa sebidang tanah untuk mendirikan pabrik. Lisa yang mengurus segala sesuatunya. Kata kakak perempuanku itu, tanah tersebut milik sahabatnya, makanya harga sewanya murah.

Setelah mesin-mesin besar itu dipasang, teknisi-teknisi yang memasangnya melatih kami–aku, Lisa, dan tiga pegawaiku–untuk menjalankan mesin itu. Beberapa sachet pun berhasil dibuat, lalu kami mencicipinya.

Hasilnya lumayan.

Walaupun kopi sachet itu tidak seenak Ben’s Perfecto dengan biji kopi Tiwus buatan Ben. Namun, untuk percobaan pertama, rasanya tidak terlalu buruk.

Produksi pertama pun mulai berjalan. Tanpa kenal lelah, mesin-mesin besar itu meracik kopi, dan mengemasnya menjadi sachet. Di dalam ruangan yang bentuknya mirip lapangan futsal itu, aroma kopi menyebar di udara, dan suara mesin mendengung tanpa henti. Dalam satu jam, sekitar tiga ribu sachet kopi berhasil dibuat. Tentu saja mesin itu masih perlu bantuan manusia untuk menyiapkan biji-biji kopi Tiwus, dan bahan plastik kemasan sachet. Tiga pegawaiku yang bertugas melakukan itu. Sisanya, dilakukan oleh mesin.
Aku sudah menyiapkan tiga buah mobil pickup untuk mendistribusikan sachet-sachet kopi ke pasaran. Baik itu restoran-restoran, kafe-kafe, dan beberapa swalayan dan mini market dua puluh empat jam. Seharian itu, semua ditangani dengan baik.

Sorenya, saat mesin-mesin itu akhirnya beristirahat, dan sachet-sachet kopi sudah disebar ke pasaran, aku duduk di kantor dengan perasaan harap-harap cemas. Menunggu telepon dari beberapa klien, yang berjanji akan memesan kembali Filosofi Kopi sachet jika konsumen mereka puas dengan rasa kopi itu.

Telepon pertama pun masuk. “Halo, Pak Budi?” Sapaku gugup.

“Halo, Pak Jody. Saya ingin memberi kabar.” Ujar suara bapak itu dari ujung sana. Aku menelan ludah. “Ternyata Filosopi Kopi sachet rasanya… LUAR BIASA!” Teriaknya.

“Ha?”

“Iya, konsumen saya sangat suka, dan untuk bulan depan, saya pesan seribu sachet lagi ya. Nanti uangnya saya transfer.”

“Terima kasih, Pak Budi.”

Lalu telepon kututup. Belum sempat merayakan keberhasilanku, sebuah telepon masuk lagi, disusul telepon yang lainnya. Semuanya bernada sama, klien-klienku puas dengan kenikmatan Filosofi Kopi dalam bentuk sachet.

Seminggu kemudian, setelah mendapat transferan dalam jumlah besar dari salah satu klien, aku mampir ke sebuah toko perhiasan, dan membeli sebuah cincin emas putih bertahta berlian.

Lalu, sambil membawa cincin itu, aku datang ke rumah Sarah. Saat pacarku itu membuka pintu, aku langsung menyodorkan cincin itu sambil berlutut. Cewek itu bengong, menunduk dengan bibir setengah terbuka.

Sedetik kemudian, Sarah melompat-lompat kegirangan. “JODY! JODY! JODY!” Teriaknya seperti anak kecil yang baru saja diberi es krim.

Demikianlah. Aku dan Sarah pun akhirnya melewati malam yang indah bersama. Semalaman, kami mengobrol di teras depan.

“Sekarang, usaha kamu kan sudah jalan. Minggu depan, jadi kan kamu ketemu lagi sama bapak, Dy?” Tanya Sarah dengan tatapan sendu.

“Tentu saja.” Sahutku mantap.

Rasanya seperti mimpi. Punya calon istri yang cantik dan baik, dan bisnis juga sedang berkembang menuju kesuksesan. Saat itu, aku merasa menjadi laki-laki paling bahagia di dunia.

Namun, namanya juga hidup. Ketika semuanya terasa begitu indah. Ada saja sesuatu yang terjadi, dan mengacaukan semuanya. Dalam hal ini, sesuatu itu berupa mesin pembuat kopi yang rusak. Iya, tiga bulan setelah kubeli, mesin terkutuk itu rusak.

Aku sudah mencoba menghubungi pengusaha yang menjual mesin itu kepadaku. Namun, dia menghilang seperti hantu. Terpaksa, produksi kopi sachet untuk minggu depan ditiadakan. Mati-matian aku mencari alasan untuk menenangkan klien-klien yang sudah memesan ribuan bungkus sachet, dan sudah membayar pula. Tentu saja mereka tidak menerima alasan macam apapun. Mereka tetap menginginkan pesanannya dikirim di akhir bulan.

Tiga hari pertama, aku mencoba memanggil tiga teknisi paling ahli yang bisa kutemukan, menyuruh mereka memperbaiki mesin terkutuk itu. Namun, ketiganya menyerah. Karena kesal bukan main, aku menendang mesin keparat itu sekuat tenaga. Mesin itu malah mengeluarkan asap, lalu meledak.

Astaga.

Aku sudah tidak bisa melakukan apapun, kecuali merumahkan pegawai, dan mencoba memikirkan cara mencari uang sekitar SATU MILYAR untuk mengembalikan biaya kopi sachet yang sudah terlanjur dibayar oleh klien, dan mengganti kerugian karena aku tidak bisa menyediakan kopi yang mereka pesan.

Di tengah pabrik yang berhenti beroperasi itu, aku duduk sendiri. Lantas, kakak perempuanku datang. “Kayaknya lo mengacau lagi ya, Jod?” Tanyanya.

“Lo bisa lihat sendiri.” Gumamku. “Sekarang gue nggak punya apa-apa lagi, selain mesin bobrok terkutuk ini, dan hutang satu milyar.”

Lisa hanya geleng-geleng kepala, lalu dia duduk di sebelahku. “Gue bawa seseorang yang bisa bantu lo, orang yang menyewakan tanah tempat pabrik ini berdiri.”

“Siapa?”

Dengan tenang, Lisa berdiri dan berjalan keluar. Aku masih kebingungan, sampai seorang perempuan lain masuk ke dalam pabrik. Wajah perempuan itu sangat kukenal, walaupun sudah lama sekali tidak melihatnya. Dia tersenyum, membuatku salah tingkah.

“Mama?”

“Iya, Jody. Mama datang untuk memban…”

“Kenapa baru sekarang datangnya? Ke mana aja selama ini? Papa meninggal karena kehilangan Mama. Aku juga kehilangan Mama.”

“Nak.”

“Sudahlah.” Potongku. Lalu, buru-buru berjalan keluar. Lisa sedang duduk-duduk di emperan pabrik. “Selama ini lo tau Mama sudah pulang kan? Kenapa lo nggak cerita?”

“Gue…”

“Sudahlah, lo sama aja kayak Mama.” Semprotku.

“Jody!”

Aku sudah tidak peduli, dan terus berjalan tanpa menoleh lagi.

Selama seminggu kemudian, aku hanya meringkuk di rumah kontrakan. Tidak keluar kamar, tidak mandi, apa lagi gosok gigi. Dan sengaja mematikan handphone, dan telepon rumah. Aku sedang tidak ingin berbicara pada siapapun. Semuanya membuat kepalaku pusing. Aku bahkan melewatkan acara pertemuan keluarga untuk membicarakan pernikahanku dengan Sarah. Setelah bangkrut dan terpuruk, aku tidak punya cukup rasa percaya diri untuk bertemu orangtua Sarah. Tidak dalam kondisi seperti ini.

Sambil meringkuk di dalam kamar, aku pun terus tenggelam dalam kebangkrutan dan rasa malu. Sampai sesuatu mengetuk-ngetuk kaca jendela kamarku. Awalnya, aku sempat mengira itu maling atau apa, namun ketika kuintip, ternyata Ben. Jadi, aku membuka jendela kamarku. Ben pun merangkak masuk melalui jendela.

“Astaga!” Seru Ben. “Penampilan lo kayak zombie. Kacau banget, lebih kacau dari gue waktu bertapa bikin Ben’s Perfecto.”

“Udah seminggu gue nggak mandi.”

“Nggak perlu dijelasin, bau lo udah menjelaskan semuanya.” Ujar Ben sambil geleng-geleng. “Tapi gue bersyukur lo masih hidup, nggak bunuh diri atau semacamnya.”

“Ngapain lo ke sini?”

Ben tersenyum, lalu menepuk bahuku. “Gue tau lo terlalu gengsi buat minta bantuan gue.” Ujar Ben pelan. “Jadi, gue jauh-jauh dari kampung, datang ke Jakarta, buat bantuin lo.”

“Tau dari mana gue butuh bantuan?”

“Kakak lo.”

“Dasar, orang itu.”

Ben tersenyum. “Dengar, Jody. Mesin pembuat kopi lo rusak, sementara lo harus nyetak lima ribu kopi sachet dalam seminggu.” Ben menghela napas. “Lo nggak bisa menghadapi masalah ini sendirian. Lo perlu gue.”

Aku hanya tersenyum. Aku memang perlu Ben.

Ben ikut tersenyum. “Dan lo juga perlu bantuan nyokap lo.”

“Nggak!” Potongku tegas. “Gue nggak per…”

“Ayolah! Lo nggak pengin dikutuk jadi batu kan?” Potong Ben cepat. “Jangan sampai lo nyesel, Jod. Lo tau nggak? Gue pengin banget ketemu ibu gue, tapi nggak bisa karena beliau udah nggak ada. Lo masih punya kesempatan, Jod. Sekali lagi, jangan sampai lo menyesal.”

Aku menghela napas.

Ben menepuk-nepuk pundakku lagi. “Tapi sebelum bertemu sama nyokap lo, ada seseorang yang juga ingin bertemu sama lo.”

Lantas, Lisa masuk ke kamar. Di belakangnya ada calon istriku, Sarah, yang sudah aku terlantarkan selama dua minggu lebih.

Aku mendekati Sarah, hendak menjelaskan semuanya. Namun, sebelum aku bicara satu kata pun, dia sudah menampar pipiku.

“Itu untuk ketidakhadiran kamu di acara lamaran.” Ujar Sarah.

“Aku…”

Sarah menamparku lagi. “Dan yang itu… supaya kamu sadar, dan bangun dari keterpurukan.” Lalu Sarah melipat kedua tangannya di dada, dia memandangku lekat-lekat.

Baru saja ingin bicara, Sarah menamparku lagi. “Dan itu supaya kamu ingat mandi.”

Aku meringis sambil mengelus-ngelus pipiku yang terasa pedas. Setelah yakin Sarah tidak akan menamparku lagi, aku pun berani berbicara. “Aku salah. Seharusnya aku terus berusaha, bukannya terpuruk seperti ini. Dan seharusnya aku datang ke acara lamaran itu. Dan aku akan segera mandi.”

Sarah menghela napas, matanya mulai berkaca-kaca. Lalu dia menghambur jatuh memelukku.

“Bagus.” Celetuk Lisa. “Sudah cukup peluk-pelukannya. Sekarang waktunya kita perbaiki semua kekacauan ini.”

“Aku akan coba pinjam uang, dan berusaha mencicil semua kerugian klien.” Ujarku lemas.

“Nggak.” Potong Ben. “Lo nggak akan ngelakuin itu. Sekali klien dibuat kecewa, mereka nggak akan mau berbisnis lagi dengan kita.”

“Terus gue harus gimana?”

“Kita bakal siapkan pesanan mereka.”

“Dengan apa? Mesin terkutuk itu sudah rusak.”

“Lo siapin aja empat tong besar, dan orang sebanyak-banyaknya untuk membungkus sachet-sachet terkutuk itu.” Ujar Ben pelan, dan dia menambahkan. “Tapi sebelumnya, lo harus ketemu sama nyokap lo dulu, dia ada di luar.”

“Astaga. Kenapa semua orang tiba-tiba datang mengunjungi gue?”

“Karena mereka khawatir dan sayang sama lo, Paman Gober.” Sahut kakak perempuanku.

Aku pun menemui ibuku di luar, tepatnya di teras depan rumah. Beliau tersenyum, aku membalas senyumannya. “Maafin Mama.” Ujarnya pelan.

“Sudahlah, Ma.” Potongku. “Ayo masuk.”

Lantas, aku membuatkan kopi untuk ibuku, yang langsung membuatnya muntah-muntah. Aku baru sadar tidak bisa membuat kopi.

Ben pun segera mengambil alih situasi dengan membuatkan kopi baru. Lalu, setelah aku mandi, kami mengobrol sampai malam. Aku, Ben, Sarah, Lisa, dan ibu, berbicara tentang mission impossible yang harus kami laksanakan. Membuat lima ribu sachet kopi dalam seminggu. Tanpa bantuan mesin.

Besoknya, tanpa membuang lebih banyak waktu, kami langsung bekerja. Aku membeli empat buah tong besar, sebesar drum minyak tanah. Kata Ben, itu akan digunakan untuk mencampur kopi. Dia pun memberi contoh cara menumbuk kopi yang baik dan benar, menggunakan penumbukan batu di depan 'pegawai-pegawai’ kami. Sudah ada dua puluh orang yang berhasil kami kumpulkan, yang terdiri dari aku, Ben, Sarah, Lisa, ibu, dan tiga pegawaiku. Sisanya, kami mengumpulkan ibu-ibu tetangga dekat pabrik dan anak-anak mereka yang berstatus pengangguran tak berguna.

Di bawah arahan Ben, mereka bekerja dengan giat. Ada yang menumbuk biji kopi Tiwus di penumbukan batu. Ada yang memotong-motong kemasan sachet. Dan khusus untuk Ben, dia bertugas mengecek semua bahan-bahan itu supaya takarannya pas. Aku sendiri sibuk menelepon klien, mengabari bahwa kami sanggup memenuhi semua pesanan yang sudah dibayar. Seharian itu, kami bekerja keras. Sampai akhirnya seribu sachet berhasil dibuat, barulah kami beristirahat. Di hari ketiga, seluruh pesanan sudah dikirim. Dan karena pesanan kali ini ditangani langsung oleh Ben, maka para klien mengaku bahwa konsumen mereka sangat suka dengan rasa Filosofi Kopi sachet yang terakhir ini.

Di pabrik, saat semua pegawai 'dadakan’ sudah membubarkan diri (tentunya setelah menerima gaji), aku dan Ben duduk-duduk di emperan pabrik untuk merayakan keberhasilan. Dan ibuku menghampiri kami.

“Jody.” Panggilnya. “Mama akan membelikanmu mesin pencetak kopi yang baru, yang nggak murahan. Bagaimana menurutmu?”

“Nggak usah, Ma. Nanti suami Mama marah lagi.” Ujarku kalem. Ben langsung menyikutku. “Maksudnya, nanti ngerepotin Mama.” Ralatku cepat.

“Nggak pa-pa. Mama pengin bantuin kamu, Jody. Hanya ini yang bisa Mama lakukan.”

Aku menatap wajah ibuku, dan merasa tidak enak. “Iya, iya, aku terima, Ma.”

“Yaelah, bilang 'iya’ aja kok repot.” Ben menyeletuk.

Aku pun memeluk ibuku. Dan rasanya menyenangkan akhirnya bisa punya ibu lagi.

Begitulah. Sebulan kemudian, sesuai janjinya, ibu membelikanku mesin-mesin baru. Kali ini, Ben sendiri yang memilihnya. Ben sengaja memilih mesin yang memungkinkannya meramu sendiri kopi sebelum dikemas. Dan untuk menggantikan kartu-kartu filosofinya, Ben juga menyertakan tulisan tentang filosofi setiap jenis kopi di masing-masing bungkus sachet.

Selain pabrik Filosofi Kopi, dengan keuntungan yang berhasil kudapat, aku kembali membuka kafe Filosofi Kopi, bahkan dengan dua cabang baru di Yogjakarta dan Bali. Kami juga kadang masih berjualan menggunakan mobil di konser-konser musik, atau pameran kopi, atau di mana pun yang ada keramaiannya.
Setelah semua kembali berjalan normal, akhirnya aku merasa cukup mapan, dan percaya diri untuk melamar Sarah langsung di hadapan kedua calon mertuaku.

Mereka pun setuju.

Pernikahan kami akan dilangsungkan tiga bulan lagi.

Dan seperti yang sudah kuduga, di acara lamaran itu, aku berhadapan kembali dengan pertanyaan yang sama. “Kerja di mana, Nak Jody?”

Kali ini, aku sudah punya jawabannya. Dan kebanyakan yang mendengar akan bilang 'WOW’ sambil manggut-manggut, waktu aku menjawab dengan kalem. “Saya nggak kerja sama orang. Saya pemilik Filosofi Kopi.”

Komentar