Prekuel Novel Galaupreneur

Cerita pendek ini merupakan prekuel dari novel komedi saya yang berjudul Galaupreneur. Semoga bisa menghibur, dan selamat membaca...

***

Jadi, begini kisahnya...

Di suatu masa, hiduplah seorang siswi kelas 11, bernama Rena. Anaknya kurus, pendek dan item. Di sekolah, Rena termasuk murid yang biasa aja. Dia payah di pelajaran matematika, dan hampir nggak punya kelebihan, kecuali bakat menggambar.

Pernah, waktu ulangan matematika, saking nggak bisa jawabnya, Rena malah menggambar wajah gurunya di lembar jawaban. Hasilnya, Rena mendapat nilai -1. Iya, dalam pelajaran matematika, Rena bahkan dianggap tidak pantas mendapat nilai 0.

Selain nilainya yang parah, hampir setiap hari, selama setahun setengah bersekolah di SMA, dia nyaris selalu dibully oleh teman-temannya. Sampai suatu ketika, ada seorang siswi baru menyelamatkannya. Seorang cewek manis yang tingkahnya kayak preman, namanya Widi.

Waktu itu, Rena lagi diganggu sama Genk Genma, Gendut Manis. Terdiri dari 3 cewek gembrot tapi merasa manis. Padahal nggak sama sekali. Si ketua genk, nekling kaki Rena sampai jatuh. Lalu dua anggota lainnya menginjak-injak badan Rena, pura-pura nggak tau kalo Rena ada di sana.



Saat itulah, Widi datang. JENG! JENG!

Widi anaknya tinggi (jelas lebih tinggi dari Rena), kulitnya sawo matang, badannya bagus kayak atlet renang, dan rambutnya hitam sebahu.

"APA-APAAN KALIAN! STOP!" Widi membantu Rena berdiri, baju Rena udah compang-camping, dan rambutnya berantakan.

"SIAPA LO? JANGAN MACAM-MACAM SAMA GENK GENMA." Bentak si ketua genk, sambil melangkah maju, ingin menjambak rambut Widi.

Namun, Widi yang tampangnya manis dan lemah lembut itu, dengan gesit menghindar, lalu mendaratkan lututnya ke perut besar si ketua genk. Cewek gembrot itu langsung terkapar di aspal, mulutnya berbusa, dan kejang-kejang. Kedua anak buahnya cuma bengong.

"Kenapa bengong?" Tanya Widi. "Buruan, urus ketua kalian ini. Dan jangan berani-berani ganggu Rena lagi." Bentak Widi sangar.

Kedua anak buahnya pun membantu si ketua berdiri.

Widi mengacungkan tinjunya ke udara, membuat cewek-cewek gembrot itu lari kocar-kacir, lalu berteriak kepada mereka. "Ya bagus, larilah yang kencang, selamatkan diri kalian. Dasar babi-babi gila jelek gembrot terkutuk!"

"Makasi ya." Ujar Rena. "Iya, mulai sekarang lo nggak perlu takut. Ada gue!" Seru Widi.

Begitulah. Sejak itu, Rena nggak pernah dibully lagi. Kalau ada yang berani ngebully, Widi langsung menghajar mereka tanpa ampun.

Anehnya, setelah nggak pernah dibully lagi, Rena tetap saja murung. Widi pun bertanya. "Lo kenapa sih? Naksir cowok?" Celetuk Widi iseng.

Di luar dugaan, Rena mengangguk. Rena pun bercerita bahwa sudah setahun ini, dia suka sama kapten tim sepak bola sekolah, namanya Deva. Deva anaknya tinggi dan putih. Berkat rajin main bola, bodynya jadi atletis, dan perutnya kotak-kotak. Kerenlah pokoknya, kayak artis Korea. Nggak heran Rena suka. Dan perasaan itu semakin bertambah, ketika Deva mendatangi Rena dan minta tolong untuk dilukiskan foto keluarganya.

Dengan senang hati, Rena pun melukis pesanan itu sebaik mungkin, belum pernah dia melukis seserius ini. Bahkan sampai lehernya sakit, dan lupa makan.

Seminggu kemudian, masterpiece Rena pun jadi. Sebuah lukisan yang nyaris sempurna, campuran warnanya indah, paduan antara realis dan abstrak. Dalam lukisan itu, ketiga anggota keluarga Deva tersenyum bahagia. Benar-benar mirip dengan aslinya, bahkan lebih bagus.

Rena memberikan lukisan itu dalam keadaan terbungkus koran, Deva menerimanya. "Makasi ya, Na."

"Iya," sahut Rena.

Baru besoknya Deva datang lagi ke kelas Rena, dan memuji lukisannya. Deva tersenyum, namun matanya berkaca-kaca. Katanya, lukisan Rena memberi keajaiban. Kedua orangtua Deva yang awalnya ingin bercerai, jadi mengurungkan niat mereka itu. Mereka terharu melihat lukisan keluarga yang dilukis oleh Rena, di dalam lukisan itu, mereka terlihat sangat bahagia.

Demikianlah. Ketika itu, Rena begitu bersyukur, karena bisa melakukan sesuatu yang berarti untuk orang yang dia suka.

Namun, kebahagiaan itu hanya sebentar. Deva kembali menjauh.

Selain sibuk persiapan UN, Deva juga sibuk latihan dalam rangka persiapan mengikuti kejuaraan sepak bola antar SMA se-Jakarta.

"Terus lo nggak usaha gitu deketin Deva, Na?" Tanya Widi. Rena menggeleng. "Mana mau dia sama cewek kayak gue." Sahutnya sambil menunduk.

"Ck! Usaha aja belom udah nyerah. Payah! Pantes lo jomblo mulu." Gerutu Widi.

"Terus gue harus ngapain, Wid?" Tanya Rena. Widi tersenyum. "Nih, lo ikutan audisi pencarian bendahara untuk tim sepak bola sekolah aja." Widi memberikan sebuah selebaran, Rena mengamati tulisan di selebaran itu, membacanya dengan seksama.

DICARI: Bendara, untuk tim sepak bola. SYARAT: Berpenampilan menarik, suka bola, dengan nilai matematika minimal 9.

"Waduh, nilai gue nggak cukup." Gumam Rena.

"Berapa emang?" Tanya Widi.

Rena menunduk. "Min satu."

"HAH?! NILAI MACAM APA ITU?" Seru Widi. "GUE AJA YANG SERING BOLOS, NILAI MATEMATIKANYA 6."

Rena diam aja sambil nunduk. Widi geleng-geleng kepala. "Ya udah, lo ngelamar jadi tukang mungut bola aja."

Rena pun ngelamar jadi tukang mungut bola, dan langsung diterima.Sedangkan posisi bendahara ditempati oleh cewek kelas 12, bernama Anjani.

Pada waktu tim latihan, Rena bertugas memunguti bola-bola yang melambung tinggi melewati gawang, dan nyangkut di semak-semak. Kadang, Rena membantu membawa minum untuk para pemain pas sedang istirahat. Bahkan, Rena juga berfungsi sebagai sasaran tembak untuk latihan tendangan bebas.

Semuanya dijalani dengan ikhlas, yang penting bisa melihat Deva setiap hari. Kadang malah dapat ngobrol pula dengan cowok itu.

Suatu hari, selesai latihan, Rena melihat Deva berdiri di loker miliknya. Ketika melihat Rena, Deva buru-buru pergi. Dan waktu loker itu dibuka, ternyata di dalamnya ada bunga mawar. Rena pun senyum-senyum sendiri.

Selama sebulanan, Rena semangat sekali pergi ke sekolah. Bukan buat belajar di kelas, tapi supaya bisa bertemu dengan Deva. Namun, lama-lama, tugas-tugasnya sebagai tukang mungut bola benar-benar menyita waktu, dia jarang bisa bertemu Deva.

Sepanjang latihan, Rena terlalu sibuk membawa minuman untuk para pemain. Sisanya, dia sibuk jadi sasaran tendangan bebas. Satu-satunya penyemangat bagi Rena adalah, ketika latihan selesai, di lokernya, selalu ada setangkai bunga mawar untuk Rena.

Begitulah. Karena latihan yang keras, dan pengorbanan Rena, tim sepak bola sekolahnya pun lolos dari grup sebagai runner up. Walaupun kalah 4-2 di pertandingan pertama, mereka berhasil seri 2-2 di pertandingan kedua, dan menang 2-1 di pertandingan ketiga. Satu tim merayakan keberhasilan itu, dan mereka latihan lebih keras lagi untuk bisa tampil semakin baik. Segalanya masih terasa menyenangkan, sampai Rena ngeliat Deva dipeluk-peluk oleh si bendara, Anjani.

Alhasil, Rena nggak konsen banget menjalani tugas-tugasnya. Mungut bolanya setengah hati, dan banyak pemain yang gak dapat minum.

Selesai latihan, Rena curhat ke Widi, dan dia langsung dimarahi. "Kamu sih, malu-malu banget deketin Deva. Keduluan si Anjani deh." Gerutu Widi.

"Aku harus gimana dong?" Tanya Rena cemberut.

"Kamu harus nembak Deva, sebelum si Anjani itu bergerak duluan." Sahut Widi.

Di latihan berikutnya, Rena bertekad bakal nembak Deva. Namun, dia malah menemukan cowok itu sedang duduk berdua bersama Anjani.

Anjani tampak malu-malu. "Deva, aku suka sama kamu. Mau nggak jadi pacarku?" Ujarnya. Mendengar itu, Rena langsung patah hati. "Aku mau..." Sahut Deva. Rena langsung nangis, dan lari ke kamar ganti. Dia pengin pulang dan bershower.

Di kamar ganti, Rena menemukan seseorang sedang menaruh bunga di dalam lokernya. Tapi bukan Deva, melainkan temannya, Joni.

"Jadi, selama ini, kamu yang naruh bunga di lokerku, Jon?" Tanya Rena sambil nangis.

Joni jadi salah tingkah. "Eh, anu, anu..." Belom sempat melanjutkan, Joni langsung ambil langkah seribu. Kabur!

Tinggal Rena sendiri, patah hati, dan pengin nangis di kamar mandi. Dia pun pulang, dan memutuskan berhenti menjadi anggota panitia tim bola.

Di sisi lain, secara mengejutkan, tim bola SMA Rena, berhasil menembus final. Mereka melawan tim kuat lainnya, yaitu SMA Harapan. Di leg 1, mereka berhasil menang 2-1 di kandang sendiri. Jadi, di leg 2 hanya butuh hasil seri untuk memenangkan turnamen.

Pak Anto, pelatih sekaligus guru olahraga SMA Rena, menargetkan skor 0-0. Piala pun bisa langsung dibawa pulang. Jadi, Pak Anto berencana akan menerapkan taktik parkir pesawat di depan gawang. Pokoknya jangan sampai kebobolan.

Namun, latihan tidak bisa berjalan lancar tanpa kehadiran Rena. Semuanya sudah menghubungi Rena, tapi teleponnya nggak diangkat. Akhirnya, sehari sebelum hari final leg 2, satu tim datang ke rumah Rena. Namun pintu depan terkunci.

 "RENA! RENA!" Panggil mereka.

Di dalam kamar, Rena sebenarnya mendengar, hanya saja dia tidak punya niat untuk keluar.

Sampai akhirnya, Rena mendengar suara Deva yang berteriak. "RENA, BESOK KAMU DATANG YA. KEHADIRAN KAMU SANGAT PENTING BAGI TIM."

Setelah teman-temannya pulang, Rena termenung. Nggak seharusnya masalah kecil menghancurkan tujuan yang lebih besar, pikirnya. Rena memang patah hati. Tapi ada beberapa hal yang harus didahulukan daripada sekedar keegoisan diri sendiri, pikirnya lagi.

Keesokan harinya, ditemani Widi, Rena pun datang ke kandang lawan untuk membantu timnya membawa pulang piala. Dia menyiapkan air mineral di pinggir lapangan, membantu pemain cadangan pemanasan, dan berjoget di pinggir lapangan untuk memberi semangat.

Rena terus bertahan, meskipun harus menahan perasaan sakit hati, setiap kali melihat si Anjani-Anjani itu berteriak untuk Deva.

Di babak pertama, skor masih imbang 0-0. Pak Anto menumpuk 9 pemain di depan gawang, hanya menyisakan Deva sebagai penyerang. Di babak kedua, karena terlalu keras dalam bertahan. Tiga pemain tim Rena mendapat kartu merah. Namun, mereka terus bertahan.

Sayangnya, ketika pertandingan menyisakan 5 menit sebelum berakhir, tim lawan malah berhasil mencetak gol. Skor menjadi 0-1. Agregat 2-2, tapi tim lawan lebih unggul agresivitas gol tandang. Jika ingin juara, tim Rena harus menyamakan kedudukan. Belum cukup bencana sampai di sana, sang kiper malah cidera dan tidak bisa melanjutkan pertandingan.

Masalahnya, sudah tidak ada lagi pemain di bangku cadangan. Yang ada hanya Rena, dan si Anjani. Pelatih pun menyuruh Rena untuk menjadi kiper, hanya karena tampangnya jauh lebih memprihatinkan.

Demi membantu tim yang sedang tertinggal, Rena pun masuk lapangan setelah berganti pakaian dengan seragam kiper.

"Usahakan jangan sampai kita kebobolan lagi." ujar Deva sambil menepuk pundak Rena. Saking tegangnya, Rena jadi pengin beol.

Dengan hanya 8 pemain tersisa, tim Rena, menyerang habis-habisan. Waktu tinggal 2 menit. Kecuali kiper, semua pemain maju menyerang. Giliran tim lawan yang bertahan total. Dan ketika rasanya semua harapan sudah hilang, Deva melakukan tendangan spekulasi dari tengah lapangan. Di luar dugaan, karena begitu kerasnya, bola yang sudah ditepis kiper lawan, malah memantul ke tiang gawang dan masuk.

"GOOLLLL!!!" Seluruh pemain Tim Rena masuk ke lapangan. Seolah pertandingan sudah berakhir dan mereka juara.

Rena ikut melompat-lompat di depan gawang. Berjoget-joget seperti sedang nonton konser dangdut.

Namun, pertandingan belum berakhir. Wasit memerintahkan para pemain kembali ke posisinya. Dan pertandingan dilanjutkan. Waktu masih tersisa 1 menit. Begitu peluit ditiup, pemain lawan langsung membawa bola menuju gawang yang dijaga Rena. Mungkin karena masih terpengaruh euforia gol barusan, para pemain belakang lengah. Mereka gagal menghalau pemain lawan.

Dan tiba-tiba saja, penyerang lawan sudah berhadapan satu lawan satu dengan Rena, si kiper gadungan.

Rena benar-benar nggak tau apa yang harus dilakukan. Jadi dia berlari maju, dan berusaha menendang bola. Namun, tendangannya meleset dan malah mengenai selangkangan pemain lawan. Si pemain terkapar, memegangi burungnya.

Peluit ditiup, pelanggaran di kotak pinalti. Wasit menunjuk titik putih. Giliran tim lawan yang bersorak sorai, seolah sudah juara. Jika pinalti ini masuk, maka pertandingan akan dilanjutkan ke babak perpanjangan waktu. Jika gagal, tim Rena juara.

Semua tegang. Rena gemetar. Dia tidak pernah benar-benar latihan jadi kiper, dia cuma pernah jadi target sasaran tendangan bebas.

Setelah bola diletakkan di titik putih, wasit pun meniup peluit. Dan Rena menutup mata, tidak ada yang bisa dia lakukan selain pasrah. Lantas, sesuatu menghajar wajahnya begitu keras. Seluruh mukanya terasa pedas.

Dengan perasaan seperti melayang-layang, Rena masih bisa mendengar bunyi peluit panjang tiga kali. Kemudian, Rena seperti dilempar-lempar ke udara berkali-kali. "KITA MENANG! KITA MENANG!"

Hanya itu yang Rena ingat, selebihnya menjadi gelap. Ketika Rena terbangun, dia sudah di ruang UKS. Teman-teman satu tim mengelilinginya. "Apa yang terjadi?" Tanya Rena.

"Kamu berhasil menggagalkan pinalti, kamu diam di tempat, dan kebetulan bola ditendang ke tengah. Tepat mengenai mukamu."

"Kita juara, Rena! Sekolah kita juara!" Ujar Deva. Di sebelahnya ada si Anjani. Rena menoleh ke arah lain.

Hari itu, meskipun timnya juara. Tapi Rena nggak terlalu bahagia, karena satu-satunya keinginannya adalah menjadi juara di hati Deva. Tapi dia gagal.

Dan perayaan kemenangan itu pun berlalu begitu saja. Besoknya, Rena menjalani hari seperti biasa. Berusaha tidak memikirkan Deva. Beberapa minggu kemudian, anak-anak kelas 12 sudah menempuh ujian nasional, dan mulai tersebar mencari tempat kuliah. Termasuk Deva. Sebenarnya, Rena berusaha tidak peduli Deva melanjutkan kuliah di mana, sampai dia bertemu dengan Joni, yang lagi legalisir ijazah.

"Ren, gue mau cerita sesuatu." Ujar Joni.

"Apaan?" Tanya Rena lemas.

"Sebenarnya, bunga yang gue taruh di loker lo bukan dari gue, tapi dari Deva." Sahut Joni.

"HA? Yang bener? Kok lo baru bilang sekarang?" Rena terbelalak.

"Karena Deva ngelarang gue." Jawab Joni.

"Bukannya Deva udah jadian sama Anjani?" Tanya Rena lagi.

Joni menggeleng. "Nggak, mereka nggak pernah jadian." Joni melanjutkan. "Waktu itu Anjani memang nembak Deva. Dan Deva jawab ‘mau’ pikir-pikir dulu. Tapi akhirnya ditolak."

Rena yang awalnya lemas, langsung jadi semangat. "Deva kuliah di mana, Jon. Lo tau?" Tanya Rena.

Joni mengangguk. "Dia kuliah di Bali, dia tinggal sama neneknya di sana. Dan dia cinta mati sama lo, Ren." Ujar Joni.

Setelah mendengar penjelasan itu, Rena berusaha menghubungi Deva, tapi selalu gagal. Deva seolah menghilang dari alam semesta. Sampai akhirnya, Rena memutuskan, dia bakal rajin belajar supaya tahun depan bisa lulus ujian nasional, dan menyusul Deva kuliah di Bali.

Mau tau bagaimana kelanjutan kisah Rena? Apakah Rena bisa bertemu lagi dengan Deva? Kisahnya bisa kamu baca di Novel Galaupreneur.


Pemesanan
WA: 0881-273-1411
Line: stiletto_indiebook
Email: orderbuku@stilettobook.com

Komentar