Hidup Setelah Virus Korona

Awal bulan Maret 2020, hidup masih terasa normal. Lalu virus korona menyerang.

Di tempat tinggalku, di Denpasar, Bali, virus korona sempat terasa jauh sekali. Di negeri antah berantah bernama Wuhan, sampai ada seorang bule yang tumbang di atas motor yang di parkir di trotoar. Banyak yang bilang, bule itu mabuk karena kebanyakan minum tuak. Ada juga yang bilang bule itu mati karena virus korona.

Tapi, orang-orang lebih percaya bahwa si bule tua bangka itu kebanyakan minum tuak. Namun, akhirnya berita resmi dirilis, si bule mati karena korona.

Dari sana, mulai bermunculan berita dari pemerintah, bahwa jumlah positif korona di Bali terus bertambah, sampai tulisan ini dibuat sudah berjumlah 9 kasus positif. 

Virus korona yang tadinya jauh, mulai terasa dekat sekali.

Aku mulai jarang keluar rumah, mulai takut kalau ada orang bersin dengan nikmat di dekatku, mulai cuci tangan lebih sering dari biasanya. Pokoknya bawaannya parno melulu.

Untuk urusan ekonomi juga sangat berpengaruh, orang-orang yang belanja ke rumah jauh berkurang. Dua hari yang lalu cuma satu orang yang belanja. Kemarin juga satu orang. Kalau seperti ini, keadaan rasanya akan terus memburuk. Orang-orang disuruh "di rumah aja", tapi kalau semua orang di rumah saja, lama-lama kebutuhan pokok (makanan) tentu akan habis juga. Sementara kalau keluar, ada virus galak yang menunggu kita di pintu gerbang rumah.

Pemerintah pusat menyatakan tidak lockdown, tapi menghimbau agar "di rumah aja", jaga jarak kalau mau keluar. Tapi tidak semudah itu untuk jaga jarak. Misalnya saat Jakarta membatasi waktu operasional angkutan umum. Orang-orang berjejalan mepet-mepet menunggu angkutan. Sama seperti di Tabanan, pasar umum dibatasi cuma buka selama 3 jam, dan orang-orang berdesakan di pasar yang memang tidak luas itu. Lalu ketika ada pembagian disinfektan gratis, anjuran untuk "jaga jarak" benar-benar tidak mungkin dilakukan, karena ruang yang sempit, sementara manusianya banyak. Jarang pula yang pakai masker. Bagaimana mau pakai masker? Benda itu sekarang mungkin lebih langka dari badak bercula satu.

Semuanya seperti tidak siap dengan keadaan baru ini. 

Aku jadi ingat ketika awal tahun 2020 sempat sakit. Aku nunggu 2 jam di UGD sebuah rumah sakit yang menerima BPJS, tanpa kejelasan apapun, sampai akhirnya pindah ke UGD RS lain, terpaksa tidak pakai BPJS. Sebelum ada virus mematikan bernama korona, rumah sakit kita seperti sudah kewalahan menghadapi pasien, apalagi setelah ada korona.

Beberapa malam ini, aku sering kebangun dini hari, kepikiran bagaimana hidup ke depannya dengan adanya korona ini. Entah apa yang ingin Tuhan ajarkan dengan menciptakan virus semacam ini. Aku nggak tau, dan sepertinya cuma bisa pasrah. Sambil berusaha (kalau bisa) menjaga jarak jika terpaksa keluar rumah, sering cuci tangan, pulangnya langsung mandi, dan berdoa semoga masa-masa suram ini cepat berlalu.

Komentar

  1. Saya penasaran sih dengan kondisi penanganan wabah ini di Bali. Pasalnya memang tempat wisata yang paling banyak dikunjungi turis luar kan? Kalo boleh saya pengen denger deh ceritanya. Btw tetap jaga kesehatan yap.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Penanganannya, sesuai anjuran pemerintah aja, Hanna. Di rumah aja, sering cuci tangan, jaga jarak, pakai masker, dan kalau terpaksa pergi, pulangnya langsung mandi besar dan cuci baju. :)

      Hapus

Posting Komentar